Ilustrasi : merdeka.com
SOSOK bernama Muhammad Daming
Sunusi semula tidak dikenal orang. Ketika namanya mulai disebut-sebut
berbagai media massa, konotasinya sangat negatif. Pada hari Senin
tanggal 14 Januari 2013 lalu, di hadapan anggota Komisi III DPR RI,
dalam rangka mengikuti fit and proper test sebagai Calon Hakim Agung (CHA), Daming melontarkan pernyataan yang sangat tak patut.
Ketika Daming ditanya oleh Andi Azhar
(fraksi PAN), “Bagaimana menurut Anda, apabila kasus perkosaan ini
dibuat menjadi hukuman mati?” Daming menjawab, “Yang diperkosa dengan
yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap
hukuman mati.”
Boleh jadi, itu merupakan jawaban
spontan Daming. Artinya, susunan kata dan kalimat yang meluncur lancar
dari mulut Daming tadi, tak lagi memerlukan energi akal-fikiran. Karena,
jawaban itu sudah merupakan seuntai kalimat yang siap meluncur kapan
saja, saat ada pemicu yang pas. Sepertinya, itulah cerminan watak asli
seseorang.
Usai mengikuti fit and proper test
hari itu, wartawan bertanya kepada Daming mengapa melontarkan
pernyataan seperti itu. Daming menjawab, pernyataan itu untuk mencairkan
suasana fit and proper test yang menurutnya terlalu tegang.
Keesokan harinya, Daming menyatakan penyesalannya. Di hadapan insan pers
Daming mengatakan, “Saya semalaman tidak bisa tidur. Saya mengaku saya
bersalah dan tidak akan melakukan pembelaan atas dasar apa pun… Saya
meminta maaf, terutama kepada Allah sudi kiranya memaafkan hambanya yang
lemah ini.”
Pernyataan Daming yang semula diakuinya sebagai candaan, bila diletakkan pada konteks kasus perkosaan yang menimpa RI,
bocah perempuan berusia 10 tahun yang diperkosa ayah kandungnya
sendiri, hingga berujung pada kematian korban, sangat terasa jauh dari
kebenaran, jauh dari nilai kemanusiaan dan kepatutan. Bagaimana mungkin
RI yang diperkosa ayah kandungnya hingga ia tertular penyakit kelamin
dari ayahnya, bahkan hingga ia tewas, dapat dikatakan sama-sama
menikmati?
Penyesalan Daming tak lagi bermakna.
Karena, masyarakat sudah terlanjur merekam watak asli Daming melalui
pernyataan spontannya yang dikatakannya sebagai candaan semata. Candaan
itu bagai jendela yang memberi kita kesempatan melihat akhlak pejabat
negara seperti Daming.
Muhammad Daming Sunusi, kelahiran
Bulukumba (Sulawesi Selatan) tanggal 1 Juni 1952, saat ini masih
menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Dari namanya yang
berbau Islam, ternyata ia terasa begitu tidak Islami.
Kita bisa saja berkilah dan melakukan
‘pembelaan’ terhadap fenomena Daming ini. Misalnya dengan mengatakan
bahwa Daming merupakan produk lembaga pendidikan sekuler, sehingga meski
ia sejak kecil sudah menganut agama Islam, namun wataknya tidak Islami.
Faktanya, untuk pendidikan tinggi Daming menempuhnya di sejumlah
lembaga pendidikan ‘sekuler’.
Pada tahun 1977, Daming lulus dari
Universitas Hasanuddin, Makassar, Fakultas Hukum jurusan Pidana
Kriminologi. Untuk jenjang S-2 Daming berhasil lulus tahun 2002 dari
Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta (tahun 2002)
Sedangkan jenjang S-3 Daming lulusan Fakultas Ilmu Hukum Ketatanegaraan
Universitas Padjajaran, Bandung, tahun 2009. Dapatkah kita mengatakan
watak asli Daming yang tidak Islami tadi merupakan output dari input
yang diperolehnya melalui lembaga pendidikan tinggi tadi? Yang jelas,
logika seperti ini akan ditolak terutama oleh civitas akademika ketiga
lembaga pendidikan tinggi tadi.
MIRIP Daming Sunusi, ada sosok bernama
Ahmad Fathanah yang semula tidak dikenal orang. Ketika namanya mulai
disebut-sebut berbagai media massa, konotasinya sedemikian negatif.
Selasa malam tanggal 29 Januari 2013, lima belas hari setelah kasus
Daming Sunusi, sosok bernama Ahmad Fathanah ditangkap KPK di sebuah
hotel, untuk kasus dugaan penerimaan suap kebijakan impor daging sapi.
Saat ditangkap KPK, Ahmad tidak sendiri.
Dia sedang ditemani Maharani Suciyono, gadis belia berusia 19 tahun
yang menjadi teman kencannya. Ahmad ditangkap saat ia baru saja menerima
uang muka sebesar Rp 1 milyar dari rencana Rp 40 milyar yang diserahkan
Juard Effendi dan Abdi Arya Effendi selaku direktur PT Indoguna Utama.
Ahmad sudah ditetapkan sebagai
tersangka. Demikian juga partner bisnisnya, Luthfi Hasan Ishak yang saat
itu masih menjabat sebagai Presiden PKS. Ahmad dan Luthfi selain
merupakan partner bisnis, juga sama-sama lulusan Ponpes Gontor. Maka tak
heran ketika berkomunikasi untuk urusan penting seperti kebijakan impor
daging sapi ini, mereka menggunakan bahasa Arab.
Ponpes Gontor memang sangat terkenal.
Lulusannya juga banyak yang jadi orang terkenal. Misalnya, Nurcholish
Madjid yang oleh sebagian orang dijuluki bapak sekularisme Indonesia,
tokoh pluralisme agama, dan tokoh liberal (pembaharu) dalam pemikiran
Islam. Ada personil group band WALI yang kini menjadi group band papan
atas di Indonesia. Ada juga AS Panji Gumilang, yang kini masih memimpin
Ponpes Al Zaytun di Indramayu, yang dikatakan merupakan lembaga atas
tanah gerakan NII KW IX yang terkenal dengan kasus cuci otaknya.
Ahmad Fathanah selain lulusan lembaga
pendidikan Islam juga berasal dari keluarga yang Islami banget.
Bapaknya, almarhum Fadeli Luran adalah tokoh Islam terkemuka di Sulawesi
Selatan, pendiri Ponpes Modern IMMIM (Ikatan Masjid Mushala Indonesia
Muttahidah).
Begitu juga dengan Luthfi Hasan Ishak,
selain lulusan lembaga pendidikan Islam, ia juga berasal dari keluarga
yang Islami banget. Bapaknya, Hasan Ishak di awal 1980-an sangat
terkenal sebagai juru dakwah yang istiqomah dan anti bid’ah. Juga,
termasuk tokoh penggerak jilbab bagi kalangan muslimah yang saat itu
masih dinilai aneh.
Saat ini keduanya sudah ditetapkan
sebagai tersangka. Bahkan, Ahmad Fathanah saat ditangkap konon sedang
bercumbu, keduanya tanpa busana. Namun belakangan situasi dramatis itu
diralat. Konon, Ahmad Fathanah dan Maharani ditangkap saat berada di
lobby hotel. Dan, Maharani Suciyono baru dikenal sehari sebelumnya.
Namun, masyarakat terlanjur lebih percaya kepada versi pertama, karena
versi berikutnya penuh kejanggalan. Bagaimana mungkin seorang gadis
belia dengan mudah menerima tawaran lelaki tidak ganteng separuh baya
untuk sekedar makan-minum di hotel mewah pada malam hari?
Amad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishak
ternyata mempunyai kesamaan. Selain lulusan Ponpes Gontor, keduanya juga
mempraktikkan poligami. Konon, Ahmad Fathanah beristri lima. Sedangkan
Luthfi Hasan Ishak beristri tiga.
Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishak,
sudah sejak lama menjadi partner bisnis. Di tahun 2005, kongsi usaha
mereka, PT PT Atlas Jaringan Satu, pernah dilaporkan ke polisi karena
dituding menipu atau tidak kunjung melunasi kesawibannya kepada PT Osami
Multimedia senilai Rp 5,5 milyar. Lebih jauh dari itu, Ahmad Fathanah
bahkan pernah ditahan beberapa bulan di Australia karena membantu menyelundupkan imigran gelap dari Iran.
Dalam hal kepemilikan rumah, ternyata
Luthfi punya lebih dari satu rumah mewah. Selain memiliki rumah mewah di
bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Luthfi juga punya rumah mewah
di bilangan Condet Batu Ampar, Jakarta Timur.
Rumah mewah Luthfi di bilangan Pasar
Minggu seluas 500 meter persegi bernilai Rp 5,5 milyar ini terletak di
Jalan H Samali Nomor 27, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sementara itu,
rumah mewah satunya terletak di wilayah RT 03 RW 09 Batu Ampar, Jakarta
Timur, berdiri mentereng di atas tanah 4000 meter persegi.
Uniknya, rumah mewah Luthfie di Condet
Batu Ampar itu, berada dalam satu wilayah RT dengan kediaman sederhana
Maharani Suciyono. Konon, rumah mewah Luthfi merupakan salah satu saja
dari sederetan rumah mewah para petinggi PKS lainnya yang menempati
cluster khusus di kawasan itu yang sekelilingnya masih sederhana.
Penetapan Luthfi sebagai tersangka,
menurut dalih KPK karena Luthfi aktif mengatur jumlah suap melalui
komunikasi berbahasa Arab dengan Ahmad Fathanah yang berhasil disadap
KPK.
Perilaku Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan
Ishak yang tidak Islami tadi apakah merupakan output dari input yang
diperolehnya melalui lembaga pendidikan Islam yang pernah mereka masuki?
Pastinya, logika ini akan ditolak mentah-mentah.
Fenomena Daming-Ahmad-Luthfi yang
dijadikan contoh melalui tulisan ini, hanyalah secuplik fakta tentang
orang-orang yang secara formal beragama Islam, namun perilakunya tidak
Islami. Contoh-contoh lainnya masih banyak. Semoga kami sempat
menyajikannya untuk pembaca, tentu dengan maksud agar sajian ini menjadi
pelajaran, sehingga kita tetap istiqomah dan waspada terhadap rayuan
iblis terkutuk yang menjerumuskan manusia dengan wanita, tahta, harta
dan kemewahan.
{ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ} [الأنعام: 44]
44. Maka tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua
pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS Al-An’am: 44).