Pages

Badvirs

Siti

AHMAD FATONAH (AF) DAN PKS

Wednesday, February 6, 2013

Ilustrasi : merdeka.com
SOSOK bernama Muhammad Daming Sunusi semula tidak dikenal orang. Ketika namanya mulai disebut-sebut berbagai media massa, konotasinya sangat negatif. Pada hari Senin tanggal 14 Januari 2013 lalu, di hadapan anggota Komisi III DPR RI, dalam rangka mengikuti fit and proper test sebagai Calon Hakim Agung (CHA), Daming melontarkan pernyataan yang sangat tak patut.
Ketika Daming ditanya oleh Andi Azhar (fraksi PAN), “Bagaimana menurut Anda, apabila kasus perkosaan ini dibuat menjadi hukuman mati?” Daming menjawab, “Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.”
Boleh jadi, itu merupakan jawaban spontan Daming. Artinya, susunan kata dan kalimat yang meluncur lancar dari mulut Daming tadi, tak lagi memerlukan energi akal-fikiran. Karena, jawaban itu sudah merupakan seuntai kalimat yang siap meluncur kapan saja, saat ada pemicu yang pas. Sepertinya, itulah cerminan watak asli seseorang.
Usai mengikuti fit and proper test hari itu, wartawan bertanya kepada Daming mengapa melontarkan pernyataan seperti itu. Daming menjawab, pernyataan itu untuk mencairkan suasana fit and proper test yang menurutnya terlalu tegang. Keesokan harinya, Daming menyatakan penyesalannya. Di hadapan insan pers Daming mengatakan, “Saya semalaman tidak bisa tidur. Saya mengaku saya bersalah dan tidak akan melakukan pembelaan atas dasar apa pun… Saya meminta maaf, terutama kepada Allah sudi kiranya memaafkan hambanya yang lemah ini.”
Pernyataan Daming yang semula diakuinya sebagai candaan, bila diletakkan pada konteks kasus perkosaan yang menimpa RI, bocah perempuan berusia 10 tahun yang diperkosa ayah kandungnya sendiri, hingga berujung pada kematian korban, sangat terasa jauh dari kebenaran, jauh dari nilai kemanusiaan dan kepatutan. Bagaimana mungkin RI yang diperkosa ayah kandungnya hingga ia tertular penyakit kelamin dari ayahnya, bahkan hingga ia tewas, dapat dikatakan sama-sama menikmati?
Penyesalan Daming tak lagi bermakna. Karena, masyarakat sudah terlanjur merekam watak asli Daming melalui pernyataan spontannya yang dikatakannya sebagai candaan semata. Candaan itu bagai jendela yang memberi kita kesempatan melihat akhlak pejabat negara seperti Daming.
Muhammad Daming Sunusi, kelahiran Bulukumba (Sulawesi Selatan) tanggal 1 Juni 1952, saat ini masih menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Dari namanya yang berbau Islam, ternyata ia terasa begitu tidak Islami.
Kita bisa saja berkilah dan melakukan ‘pembelaan’ terhadap fenomena Daming ini. Misalnya dengan mengatakan bahwa Daming merupakan produk lembaga pendidikan sekuler, sehingga meski ia sejak kecil sudah menganut agama Islam, namun wataknya tidak Islami. Faktanya, untuk pendidikan tinggi Daming menempuhnya di sejumlah lembaga pendidikan ‘sekuler’.
Pada tahun 1977, Daming lulus dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Fakultas Hukum jurusan Pidana Kriminologi. Untuk jenjang S-2 Daming berhasil lulus tahun 2002 dari Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta (tahun 2002)  Sedangkan jenjang S-3 Daming lulusan Fakultas Ilmu Hukum Ketatanegaraan Universitas Padjajaran, Bandung, tahun 2009. Dapatkah kita mengatakan watak asli Daming yang tidak Islami tadi merupakan output dari input yang diperolehnya melalui lembaga pendidikan tinggi tadi? Yang jelas, logika seperti ini akan ditolak terutama oleh civitas akademika ketiga lembaga pendidikan tinggi tadi.
MIRIP Daming Sunusi, ada sosok bernama Ahmad Fathanah yang semula tidak dikenal orang. Ketika namanya mulai disebut-sebut berbagai media massa, konotasinya sedemikian negatif. Selasa malam tanggal 29 Januari 2013, lima belas hari setelah kasus Daming Sunusi, sosok bernama Ahmad Fathanah ditangkap KPK di sebuah hotel, untuk kasus dugaan penerimaan suap kebijakan impor daging sapi.
Saat ditangkap KPK, Ahmad tidak sendiri. Dia sedang ditemani Maharani Suciyono, gadis belia berusia 19 tahun yang menjadi teman kencannya. Ahmad ditangkap saat ia baru saja menerima uang muka sebesar Rp 1 milyar dari rencana Rp 40 milyar yang diserahkan Juard Effendi dan Abdi Arya Effendi selaku direktur  PT Indoguna Utama.
Ahmad sudah ditetapkan sebagai tersangka. Demikian juga partner bisnisnya, Luthfi Hasan Ishak yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden PKS. Ahmad dan Luthfi selain merupakan partner bisnis, juga sama-sama lulusan Ponpes Gontor. Maka tak heran ketika berkomunikasi untuk urusan penting seperti kebijakan impor daging sapi ini, mereka menggunakan bahasa Arab.
Ponpes Gontor memang sangat terkenal. Lulusannya juga banyak yang jadi orang terkenal. Misalnya, Nurcholish Madjid yang oleh sebagian orang dijuluki bapak sekularisme Indonesia, tokoh pluralisme agama, dan tokoh liberal (pembaharu) dalam pemikiran Islam. Ada personil group band WALI yang kini menjadi group band papan atas di Indonesia. Ada juga AS Panji Gumilang, yang kini masih memimpin Ponpes Al Zaytun di Indramayu, yang dikatakan merupakan lembaga atas tanah gerakan NII KW IX yang terkenal dengan kasus cuci otaknya.
Ahmad Fathanah selain lulusan lembaga pendidikan Islam juga berasal dari keluarga yang Islami banget. Bapaknya, almarhum Fadeli Luran adalah tokoh Islam terkemuka di Sulawesi Selatan, pendiri Ponpes Modern IMMIM (Ikatan Masjid Mushala Indonesia Muttahidah).
Begitu juga dengan Luthfi Hasan Ishak, selain lulusan lembaga pendidikan Islam, ia juga berasal dari keluarga yang Islami banget. Bapaknya, Hasan Ishak di awal 1980-an sangat terkenal sebagai juru dakwah yang istiqomah dan anti bid’ah. Juga, termasuk tokoh penggerak jilbab bagi kalangan muslimah yang saat itu masih dinilai aneh.
Saat ini keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, Ahmad Fathanah saat ditangkap konon sedang bercumbu, keduanya tanpa busana. Namun belakangan situasi dramatis itu diralat. Konon, Ahmad Fathanah dan Maharani ditangkap saat berada di lobby hotel. Dan, Maharani Suciyono baru dikenal sehari sebelumnya. Namun, masyarakat terlanjur lebih percaya kepada versi pertama, karena versi berikutnya penuh kejanggalan. Bagaimana mungkin seorang gadis belia dengan mudah menerima tawaran lelaki tidak ganteng separuh baya untuk sekedar makan-minum di hotel mewah pada malam hari?
Amad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishak ternyata mempunyai kesamaan. Selain lulusan Ponpes Gontor, keduanya juga mempraktikkan poligami. Konon, Ahmad Fathanah beristri lima. Sedangkan Luthfi Hasan Ishak beristri tiga.
Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishak, sudah sejak lama menjadi partner bisnis. Di tahun 2005, kongsi usaha mereka, PT PT Atlas Jaringan Satu, pernah dilaporkan ke polisi karena dituding menipu atau tidak kunjung melunasi kesawibannya kepada PT Osami Multimedia senilai Rp 5,5 milyar. Lebih jauh dari itu, Ahmad Fathanah bahkan pernah ditahan beberapa bulan di Australia karena membantu menyelundupkan imigran gelap dari Iran.
Dalam hal kepemilikan rumah, ternyata Luthfi punya lebih dari satu rumah mewah. Selain memiliki rumah mewah di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Luthfi juga punya rumah mewah di bilangan Condet Batu Ampar, Jakarta Timur.
Rumah mewah Luthfi di bilangan Pasar Minggu seluas 500 meter persegi bernilai Rp 5,5 milyar ini terletak di Jalan H Samali Nomor 27, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sementara itu, rumah mewah satunya terletak di wilayah RT 03 RW 09 Batu Ampar, Jakarta Timur, berdiri mentereng di atas tanah 4000 meter persegi.
Uniknya, rumah mewah Luthfie di Condet Batu Ampar itu, berada dalam satu wilayah RT dengan kediaman sederhana Maharani Suciyono. Konon, rumah mewah Luthfi merupakan salah satu saja dari sederetan rumah mewah para petinggi PKS lainnya yang menempati cluster khusus di kawasan itu yang sekelilingnya masih sederhana.
Penetapan Luthfi sebagai tersangka, menurut dalih KPK karena Luthfi aktif mengatur jumlah suap melalui komunikasi berbahasa Arab dengan Ahmad Fathanah yang berhasil disadap KPK.
Perilaku Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishak yang tidak Islami tadi apakah merupakan output dari input yang diperolehnya melalui lembaga pendidikan Islam yang pernah mereka masuki? Pastinya, logika ini akan ditolak mentah-mentah.
Fenomena Daming-Ahmad-Luthfi yang dijadikan contoh melalui tulisan ini, hanyalah secuplik fakta tentang orang-orang yang secara formal beragama Islam, namun perilakunya tidak Islami. Contoh-contoh lainnya masih banyak. Semoga kami sempat menyajikannya untuk pembaca, tentu dengan maksud agar sajian ini menjadi pelajaran, sehingga kita tetap istiqomah dan waspada terhadap rayuan iblis terkutuk yang menjerumuskan manusia dengan wanita, tahta, harta dan kemewahan.

{ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ} [الأنعام: 44]

44. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS Al-An’am: 44).

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

Hem

Labels

Labels

Labels